Rusia Bermain Dua Kaki di Suriah? - Islam Eropa

Post Top Ad

Rusia Bermain Dua Kaki di Suriah?

Rusia Bermain Dua Kaki di Suriah?

Share This
Kehadiran Rusia di Suriah kembali menjadi sorotan setelah sejumlah laporan menunjukkan bahwa Moskow tidak hanya semakin memperkuat hubungannya dengan Damaskus, tetapi juga melakukan manuver mendekati pihak Kurdi, khususnya SDF, di timur laut Suriah. Langkah ini memunculkan pertanyaan, apakah Rusia kini tengah bermain dua kaki untuk menjaga pengaruhnya di kawasan?

Laporan dari Qamishli menyebutkan adanya peningkatan signifikan dalam aktivitas militer Rusia. Peralatan baru didatangkan, bandara lokal diperluas, hingga fasilitas akomodasi tentara ditambah. Kehadiran ini jelas memperlihatkan ambisi Moskow untuk menjadikan dirinya sebagai aktor kunci di utara dan timur Suriah.

Selain itu, patroli pasukan Rusia di jalanan Hasakah dan Qamishli semakin sering terlihat. Warga lokal melaporkan bahwa keberadaan militer asing itu kini bukan lagi sekadar bayangan, melainkan realitas sehari-hari. Kondisi ini memperkuat kesan bahwa Rusia ingin menggantikan dominasi militer Amerika di kawasan tersebut.

Langkah Rusia tidak berhenti di situ. Peningkatan intensitas penerbangan helikopter di langit Suriah utara menegaskan bahwa operasi udara kini menjadi bagian penting dari strategi baru Moskow. Pemetaan ulang wilayah dan restrukturisasi militer tampak diarahkan untuk memperluas daya tawar politik di tengah konflik berkepanjangan.

Namun, langkah Rusia mendekati SDF memunculkan tanda tanya besar. SDF, yang selama ini dikenal sebagai mitra strategis Amerika Serikat, kini seolah-olah mulai dilirik Moskow. Rusia tampaknya mencoba memanfaatkan kekecewaan Kurdi terhadap Washington yang dianggap tidak konsisten dalam memberikan perlindungan.

Sementara itu, hubungan Rusia dengan pemerintah Damaskus di bawah pemerintahan Presiden Ahmed Al Sharaa tetap dijalin. Paska lengsernya rejim Bashar al-Assad, hubungan dengan Moskow tetap terjalin. Ini menempatkan Rusia pada posisi unik, yakni mampu berkomunikasi dengan dua pihak yang sebenarnya saling berseberangan.

Kondisi ini mirip dengan apa yang dilakukan Rusia di Afrika, khususnya di Sudan. Awalnya, Moskow memberikan dukungan besar pada RSF, kelompok paramiliter yang menjadi lawan Khartoum. Namun dalam perkembangannya, Rusia juga merapat ke pemerintahan resmi di Port Sudan demi memastikan akses ke Laut Merah tetap aman.

Strategi tersebut menunjukkan bahwa Moskow tidak ingin menaruh seluruh taruhannya pada satu pihak saja. Dengan membuka jalur komunikasi ke berbagai kelompok, Rusia memastikan dirinya selalu memiliki pijakan ketika situasi politik berubah.

Dalam konteks Suriah, pola ini bisa dibaca sebagai upaya Rusia untuk menjaga fleksibilitas. Jika suatu hari pengaruh Amerika di timur laut melemah, Rusia sudah lebih dulu menyiapkan jalan masuk dengan mendekati SDF.

Namun di sisi lain, jika Damaskus berhasil menguasai kembali wilayah Kurdi, Rusia juga tetap aman karena hubungan dengan Damaskus tidak terganggu. Inilah yang disebut banyak analis sebagai strategi “dua kaki” yang khas Rusia.

Bandingannya dengan Sudan cukup relevan. Di sana, Rusia tidak ingin kehilangan peluang strategis di Laut Merah, sehingga baik mendukung RSF maupun pemerintah resmi, keduanya tetap dijaga. Prinsip serupa tampaknya kini diterapkan Moskow di Suriah.

Perbedaan utamanya terletak pada konteks geopolitik. Di Sudan, Rusia fokus pada jalur perdagangan dan militer di Laut Merah. Sedangkan di Suriah, Rusia berupaya mempertahankan pangkalan militernya di Tartus dan Hmeimim, serta memperluas pengaruh ke timur laut yang kaya minyak.

Banyak pihak menilai langkah Rusia ini sebagai pragmatisme politik. Namun ada pula yang melihatnya sebagai bentuk oportunisme yang bisa berbalik merugikan. Pasalnya, terlalu banyak bermanuver justru bisa memunculkan kecurigaan dari pihak yang merasa dipermainkan.

Meski demikian, hingga kini strategi Rusia terbukti efektif. Baik Assad maupun sebagian elemen Kurdi masih membuka pintu untuk Moskow, menunjukkan bahwa Rusia berhasil memainkan posisi sebagai mediator sekaligus pelindung.

Pertanyaan besar berikutnya adalah bagaimana Amerika akan merespons. Jika Washington melihat Rusia terlalu dalam masuk ke wilayah SDF, ketegangan baru antara dua kekuatan global bisa muncul di Suriah.

Selain itu, Turki pun tak bisa dipisahkan dari dinamika ini. Ankara yang menentang SDF, juga terus mencurigai langkah Rusia. Bagaimanapun, perimbangan kekuatan di kawasan bisa berubah sewaktu-waktu.

Rusia sendiri tampak percaya diri dengan pendekatan multi-pihak ini. Bagi Moskow, yang terpenting adalah menjaga pijakan geopolitiknya di Timur Tengah tetap kokoh meski konstelasi berubah.

Dengan demikian, pola politik Rusia di Suriah seakan menjadi cermin dari strateginya di Sudan. Bermain di dua sisi sekaligus, mengamankan kepentingan, dan selalu siap menyesuaikan diri dengan peta politik baru.

Apakah strategi dua kaki ini akan berhasil dalam jangka panjang? Waktu yang akan menjawab. Namun satu hal jelas, Rusia telah menjadikan Suriah sebagai panggung utama untuk mempertontonkan fleksibilitas geopolitiknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Pages