Pembangunan jaringan kereta api Kekhalifahan Ottoman pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 menjadi salah satu tonggak besar modernisasi di kawasan Timur Tengah. Proyek ini tidak hanya menyangkut kepentingan ekonomi dan militer, tetapi juga berkaitan langsung dengan ibadah haji yang menjadi pusat perhatian Sultan Abdul Hamid II.
Sebelum Hijaz Railway yang terkenal itu dibangun, Ottoman sudah terlebih dahulu memiliki jalur rel dari Istanbul menuju Syam. Jalur ini kemudian menjadi fondasi utama yang memungkinkan tersambungnya ibu kota kekhalifahan dengan Damaskus. Dari sanalah, kelak, rel dilanjutkan ke Madinah sebagai bagian dari proyek suci.
Pembangunan jalur Istanbul–Damaskus dilakukan melalui proyek yang dikenal dengan nama Anatolian Railway. Proyek ini dimulai tahun 1888 dengan modal dan dukungan teknis yang banyak berasal dari Jerman, terutama melalui Deutsche Bank dan para insinyurnya. Hubungan erat Ottoman–Jerman pun makin menguat karena proyek ini.
Rel pertama dibangun dari distrik HaydarpaÅŸa di Istanbul, yang berada di sisi Asia. Dari sana, jalur diteruskan menuju Ankara, lalu ke Konya pada tahun 1896. Tahap berikutnya memperpanjang jalur ke arah selatan, melewati Aleppo hingga sampai ke Damaskus.
Keberadaan jalur Istanbul–Damaskus membuka peluang baru bagi umat Islam di wilayah Balkan, Anatolia, dan Kaukasus. Mereka tidak lagi harus menempuh perjalanan laut atau karavan yang melelahkan untuk sampai ke Syam sebelum berangkat haji. Kereta api membuat perjalanan lebih cepat dan relatif lebih aman.
Sultan Abdul Hamid II menyadari betul manfaat besar jaringan ini. Karena itu, ia kemudian melanjutkan gagasan pembangunan Hijaz Railway pada tahun 1900. Rel baru ini direncanakan menghubungkan Damaskus dengan Mekkah, meski akhirnya hanya sampai Madinah pada tahun 1908.
Hijaz Railway sejak awal dimaksudkan sebagai proyek religius sekaligus politik. Rel ini menjadi sarana mempererat kesetiaan umat Islam terhadap kekhalifahan sekaligus mempermudah logistik militer Ottoman di Jazirah Arab. Namun, keterbatasan dana dan kondisi geografis membuat pembangunan tidak bisa sepenuhnya mencapai Mekkah.
Sementara itu, di jalur lain, Ottoman dan Jerman juga bekerja sama membangun proyek ambisius lain, yaitu Jalur Kereta Api Baghdad atau Baghdadbahn. Proyek ini diresmikan pada 1903 dengan tujuan menghubungkan Istanbul hingga ke Teluk Persia melalui Baghdad dan Basra.
Namun, pembangunan Baghdadbahn jauh lebih rumit dibanding jalur Istanbul–Damaskus. Rel harus melewati pegunungan Taurus dan Amanus yang sulit ditembus. Selain itu, tekanan politik dari Inggris dan Prancis yang khawatir terhadap pengaruh Jerman di Timur Tengah membuat proyek ini sering terhambat.
Hingga pecahnya Perang Dunia I pada 1914, jalur penuh Istanbul–Baghdad masih belum terealisasi. Jalur baru selesai secara bertahap setelah era perang, ketika wilayah Irak sudah berada di bawah Mandat Inggris. Dengan demikian, impian Ottoman memiliki jalur langsung hingga ke Teluk Persia tidak sepenuhnya tercapai semasa kekhalifahan masih berdiri.
Kendati demikian, jalur Istanbul–Konya–Aleppo yang sudah beroperasi sebelum perang menjadi bagian penting dari jaringan kereta Ottoman. Jalur ini dipandang sebagai tonggak strategis dalam menghubungkan Anatolia dengan Syam, sekaligus pintu masuk menuju Hijaz.
Bagi umat Islam pada masa itu, terutama dari Anatolia, perjalanan haji menjadi lebih mudah dengan adanya rel Istanbul–Damaskus. Dari Damaskus, jamaah tinggal melanjutkan perjalanan melalui Hijaz Railway hingga ke Madinah, sebelum menyambung lagi dengan unta menuju Mekkah.
Rencana untuk memperpanjang rel dari Madinah ke Mekkah sebenarnya sudah disusun. Akan tetapi, kendala biaya dan perlawanan lokal membuat proyek itu mandek. Meletusnya Perang Dunia I memperburuk keadaan, sehingga rencana tersebut tidak pernah terwujud.
Jika jalur itu berhasil dibangun, maka umat Islam dari berbagai belahan kekhalifahan akan bisa menempuh perjalanan haji sepenuhnya dengan kereta api. Hal itu tentu akan menjadi revolusi besar dalam transportasi haji, sekaligus memperkuat legitimasi Ottoman sebagai pelindung dua tanah suci.
Baghdadbahn sendiri kemudian dikenal sebagai simbol ambisi geopolitik Jerman–Ottoman di kawasan. Inggris dan Prancis menilainya sebagai ancaman terhadap kepentingan mereka di Teluk Persia dan India. Persaingan inilah yang turut menjadi faktor pemicu ketegangan internasional menjelang Perang Dunia I.
Meski gagal mencapai tujuan akhir, keberadaan jalur rel Ottoman memberikan warisan berharga. Rel Istanbul–Damaskus, Hijaz Railway, hingga proyek Baghdadbahn menunjukkan bahwa kekhalifahan berupaya menempatkan diri sejajar dengan kekuatan industri Eropa.
Jejak-jejak rel tersebut sebagian masih dapat ditemukan hingga hari ini, meski banyak yang rusak akibat perang dan konflik. Hijaz Railway, misalnya, kini menjadi situs sejarah yang dikunjungi wisatawan dan peneliti di Yordania maupun Arab Saudi.
Cerita tentang proyek kereta api Ottoman juga merefleksikan hubungan erat antara modernisasi, agama, dan politik. Rel tidak hanya mengangkut barang dan manusia, tetapi juga simbol ideologi, kekuasaan, dan ambisi besar yang melampaui sekadar transportasi.
Warisan itu kini dikenang sebagai bukti bagaimana sebuah kekhalifahan yang tengah terdesak tetap berusaha membangun infrastruktur raksasa. Meskipun banyak rencana tidak terwujud sepenuhnya, jaringan kereta Ottoman telah menorehkan bab penting dalam sejarah transportasi global.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar